Anik Cha

Renungan Hidup, Cerpen, dan berbagai cerita masa lalu

    
     Kaget, shock, ragu itulah reaksi saya saat mendapat tugas mengajar di kelas 2 SD. Bisakah saya mengajar anak kecil-kecil? Backgroud saya bukan guru SD melainkan guru matematika untuk SMP dan SMA. Sebelum masuk di sekolah saya yang sekarang, saya mengajar di SMP. Karena pada saat penerimaan guru kelas SD, tidak harus lulusan PGSD maka saya dan beberapa teman mencoba peruntungan untuk mendaftar. Alhamdulillah saya lulus tes. Harapan saya, saya akan ditugasi mengajar kelas 4 atau 5, tetapi kenyataan berbicara lain. 
        Saya membayangkan keponakan di rumah yang hanya satu saja cukup membuat kewalahan, apalagi 40 siswa kecil-kecil pasti menguras tenaga saya. Beberapa minggu menjadi guru kelas 2 ternyata saya mulai menyukai pekerjaan saya. Anak- anak kecil itu tak seburuk bayangan saya. Mereka begitu polos tanpa dosa, ceria tanpa beban. Celoteh-celoteh mereka kadang membuat saya tersenyum bahkan tertawa. Jawaban mereka juga kadang membuat saya ternganga, kok bisa mereka menjawab seperti itu. Saya saja tidak kepikiran jawaban itu.
        Anak-anak itu lebih mendengarkan kata-kata gurunya daripada orang tuanya. Apa yang kita katakan selalu diingatnya. Jika kita tidak menepati janji atau kita membuat peraturan yang ternyata kita tidak taati, pasti mereka protes. Sebagai contoh saya membuat peraturan, siapa yang ramai nanti sepulang sekolah membantu saya menyapu kelas. Sebenarnya tujuan saya agar mereka tidak ramai sehingga pembelajaran berlansung dengan tertib. Setelah pelajaran usai, anak-anak itu pasti mengingatkan saya tentang peraturan tadi lengkap dengan daftar anak-anak yang ramai. Jika saya tidak menyuruh mereka menyapu, alhasil seluruh kelas akan memprotes saya. Contoh lain, saya menjelaskan ke siswa bahwa siswa yang menjadi petugas piket pada hari itu harus berangkat lebih awal untuk membersihkan kelas. Ada salah satu anak yang berkata, " Lho Bu Guru saja berangkatnya siang kok nyuruh kita berangkat pagi". Saya tidak kekurangan akal, sayapun menjawab " Bu Guru kan tidak piket". Si anak tadi menjawab lagi, " Enak dong jadi Bu Guru ga usah piket". saya tertegun mendengar kata-kata Si anak tadi, kemudian saya mengambil kesimpulan, jika meminta anak melakukan sesuatu, kita harus melakukan dahulu atau memberi contoh agar mereka meniru.
         Di samping kritis, anak kecil juga jujur. Ketika guru ada rapat di kantor, otomatis kelas tidak ada gurunya. Agar kelas tidak gaduh, saya meminta anak yang biasanya pembuat onar untuk mencatat teman-temannya yang ramai. Saat rapat selesai dan saya kembali k klas, Si anak tadi menyerahkan catatan anak yang tadi ramai. Yang membuat saya terbelalak, hampir semua siswa termasuk nama anak tadi ada di daftar anak yang ramai. Saya bertanya pada anak tadi, " Kok banyak catatannya?". Anak tadi menjawab, " Iya Bu Guru, tadi anak-anak ramai semua." Saya berkata lagi, "Berarti kamu juga ramai, namamu ada di sini?" Dengan polosnya dan tanpa rasa bersalah Si Anak menjawab,  " Iya Bu Guru, saya juga ramai makanya saya catat". Saya jadi tersenyum mendengar jawaban anak tadi, mau marah tidak jadi. 
        Anak-anak tersebut bagaikan kertas putih yang belum begitu banyak coretan. Ini kesempatan bagi guru kelas kecil untuk membuat coretan bahkan melukis di jiwa-jiwa mereka. Lukisan kita pada jiwa anak-anak itu sedikit banyak akan mempengaruhi perilaku mereka di waktu dewasa. JIika kita tidak bosan-bosannya menanamkan kejujuran, amanah, tanggung jawab dan kedisiplinan, mudah-mudahan saat dewasapun mereka akan selalu mengingatnya. Kita sering membaca, melihat dan mendengar dari media massa tentang beberapa kecurangan pada saat ujian nasional baik di SD, SMP maupun SMA. Tentu saja kepala sekolah dan guru  harus bertanggung jawab dengan kejadian ini. Tanggung jawab moral yang terpenting. Sadar atau tidak mereka telah mengajari siswa mereka untuk berbuat tidak jujur demi meraih nilai ujian yang tinggi. JIka dari kecil kita telah menanamkan ketidakjujuran, jangan salahkan mereka jika saat dewasa mereka menjadi KORUPTOR! 
        Tugas guru tidak hanya mengajar tapi juga mendidik. Marilah kita melukis di jiwa anak-anak dengan lukisan yang bagus, lukisan kita akan tetap terlihat hingga mereka tua. Berusaha agar nilai UNAS bagus itu harus tapi dengan cara yang sportif. Bukankah tujuan utama sekolah adalah untuk mencari ilmu bukan untuk mencari selembar kertas yang disebut ijasah?  
        Lukisan yang bagaimana yang akan kita buat? Semua terserah kita. Jika kita pelukis yang hebat, insya Allah hasilnyapun akan bagus. Anak-anak merupakan ladang amal sekaligus ladang dosa bagi para guru. Mudah-mudahan kita menjadi guru yang dapat mengantarkan anak-anak kita menjadi anak harapan bangsa dan agama. AMIN
    

1 komentar:

Hehehehe... untuk pemenggalan paragraf, letakkan "pemenggalan" setelah paragraf pertama. Maksudnya adalah pembaca blog anda ingin tahu kelanjutan dari artikel yang anda tulis. Btw kudu dan harus ada foto penulis tha? Tuing... Tuing... :)

Posting Komentar