Saya mengajar SD kelas 2. Pada mata pelajaran IPS terdapat materi tentang silsilah keluarga. Saya meminta siswa untuk membuat silsilah keluarganya. Saya juga biasa bertanya kepada siswa tentang keluarganya. Suatu hari saya bertanya kepada salah seorang siswa, sebut saja namanya Putri, dari silsilah keluarga yang dibuatnya saya mengetahui jika ayahnya sudah meninggal, jumlah kakaknya 2 orang. Putri dan kakaknya yang pertama sekolah di tempat saya mengajar. Saya bertanya mengapa kakaknya yang nomor 2 tidak sekolah di sini juga. Apa jawaban Putri? Kakaknya yang nomor 2 tuna rungu dan bersekolah di SLB. Deg, jantung saya rasanya berhenti berdetak. Saya membayangkan seorang ibu dengan 3 orang anak dan yang seorang cacat, suaminya sudah meninggal, betapa beratnya perjuangan ibu tersebut demi anak-anaknya. Dalam hati saya mencaci diri saya sendiri, guru macam apa saya? Tidak peduli dengan kondisi siswanya. Cerita Putri telah membuka hati saya. Sejak saat itu setiap bulannya saya menyisihkan sedikit(kenapa sedikit? Saya masih itung-itungan alias pelit he...he) dari gaji saya untuk Putri dan beberapa anak yatim di sekolah saya.