Jadi Guru,
Cita-Cita atau Takdir?
Waktu
SMP pernah terlintas dalam pikiranku untuk menjadi guru. Saat itu alasannya
cukup lucu, yaitu guru akan libur jika muridnya libur. Ketika SMA aku tertarik
dengan pelajaran Kimia karena menurutku kimia
memberi pengetahuan yang baru dan bermanfaat di kehidupan sehari-hari.
Beda dengan matematika walaupun materinya baru tetapi semakin memusingkan dengan
rumus-rumus yang kadang aku tidak tahu untuk menghitung apa di kehidupan
sehari-hari. Akhirnya cita-citaku berganti, aku ingin masuk jurusan Farmasi
atau teknik kimia ketika lulus SMA nanti.
Duduk
di kelas 3 SMA (sekarang kelas XII) membuatku sibuk. Sibuk mengikuti tambahan
pelajaran di sekolah hingga pukul 5 sore, malamnya sibuk mengerjakan tugas dari
guru dan hari Minggu biasanya digunakan untuk mengikuti kegiatan try out masuk perguruan tinggi negeri yang diadakan oleh
berbagai LBB. Ketika mengikuti Try Out, aku selalu mengisi jurusan farmasi
UNAIR atau Teknik Kimia ITS.
Ketika
bapakku bertanya aku ingin kuliah di mana dan jurusan apa, selalu kujawab
Farmasi dan Teknik kimia. Di luar dugaanku ternyata bapakku tidak setuju,
bapakku yang orang desa, menganggap kuliah di ITS hanya untuk anak laki-laki.
Perempuan kok masuk ITS. Perempuan itu jadi guru saja masuk IKIP. IKIP adalah
nama jadulnya dari UNESA, UM, UNES, UPI dan universitas lain yang mencetak
guru. Aku tidak terlalu menanggapi keinginan bapakku.
Di
sela-sela kesibukan kami kadang kakak kelas kami yang sudah duduk di perguruan
tinggi datang ke sekolah untuk memberi informasi mengenai jurusan di perguruan
tinggi mereka, pekerjaan yang sesuai dengan jurusan tersebut, aturan di kampus,
biaya SPP per semester hingga informasi kos-kosan.
Dari
sekian banyak kakak kelas yang datang ke sekolah, aku tertarik dengan informasi
mengenai STAN. Kuliah di STAN tidak dipungut biaya dan ada ikatan dinas, itu
yang membuatku tertarik mengingat ekonomi orang tuaku pas-pasan. Aku sering
mengikuti try out masuk STAN hingga ke Kediri. Akupun membeli buku soal-soal
untuk masuk STAN dan mengikuti bimbingan belajar jaraj jauh khusus masuk STAN.
LBB secara berkala mengirimi soal-soal. Di pengiriman soal berikutnya selain
mendapat soal juga mendapat kunci jawaban dari soal yang kemarin.
Semakin
lama aku semakin mantap masuk STAN selain masuk Farmasi dan Teknik Kimia.
Temanku yang bernama Arif dan Danang bahkan rela jauh-jauh ke Solo untuk
mengikuti bimbingan belajar khusus masuk STAN setelah ujian sekolah selesai.
Aku tidak ikut karena tempatnya jauh, biayanya tidak ada, dan yang jelas orang
tuaku tidak akan mengijinkan. Arif dan Danang begitu yakin bisa masuk STAN
hingga mereka sepakat tidak akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri.
Mereka hanya ikut tes masuk STAN.
Tibalah
waktu pembelian formulir masuk perguruan tinggi negeri, formulir bisa dibeli di
sekolah atau LBB-LBB. Tetapi aku tidak membelinya, aku telah terpengaruh
kata-kata Arif dan Danang. Aku hanya membeli formulir masuk STAN, langsung beli
di Malang. Bapakku bertanya apakah aku sudah membeli formulir masuk PTN, aku
jawab tidak membeli. Aku mau masuk STAN saja. Bapakku marah, kalau tidak niat
sekolah ya sekalian tidak usah sekolah, begitu katanya. Aku takut, akhirnya aku
titip kakaknya Ririn, temanku satu sekolah, untuk membelikannya di Surabaya
karena stok di sekolah dan LBB-LBB yang ada di Jombang sudah habis.
Bapakku
mungkin juga tidak setuju aku masuk STAN, walaupun tidak pernah mengatakannya
kapadaku. Aku bisa mengambil kesimpulan seperti itu karena hampir setiap
membicarakan kuliah, bapakku selalu mengatakan IKIP,IKIP, dan IKIP. Bahkan
bapakku sudah berencana menitipkan aku di rumah temannya di Surabaya.
Saat
mengisi formulir tes masuk PTN, aku benar-benar lupa kalau aku dulu
berkeinginan untuk masuk farmasi atau teknik kimia. Aku malah mangisi jurusan
Pendidikan Matematika UNESA dan Pendidikan Kimia UNESA. Dan setelah pengumuman
aku diterima di jurusan Pendidikan Matematika UNESA.
Di
awal-awal kuliah aku menyesal mengapa dulu memilih jurusan Pend.Matematika.
Mengapa tidak kuisi Teknik Kimia atau Farmasi? Aku mengutuk diriku sendiri.
Kuliah di UNESA saat itu dipandang sebelah mata, kuliah di UNESA karena tidak
diterima di pilihan pertama. Memang kebanyakan temanku satu kelas, pilihan
pertama mereka kedokteran, teknik atau jurusan lain yang dianggap lebih keren.
Ada beberapa temanku mencoba lagi ikut tes tahun depan dengan memilih perguruan
tinggi yang lain yang dulu tidak diterima.
Seiring
dengan berjalannya waktu, aku mulai menerima dan menyukai kuliah di UNESA
begitu juga dengan teman-temanku. Kami bisa mencari uang sendiri dengan memberi
lies privat atau mengajar di LBB. Jurusan kami matematika banyak dicari orang.
Betul kata bapak/ibu dosen ketika kami baru masuk kuliah. Kebanyakan dosen
memberi kami selamat sudah diterima di jurusan matematika, nanti di semester 4
bisa mendapat uang sendiri dengan memberi les. Tidak menunggu semester 4, di
semester 1 atau 2 saja sudah banyak teman-temanku yang memberi les privat atau
mengajar di LBB. Jika ada dosen yang berhalangan memberi kuliah dan diganti
pada hari lain di atas pukul 14.00, dipastikan mahasiswa di kelasku akan kompak
menolak. Mereka punya jadwal memberi les atau mengajar di LBB yang kebanyakan
sore dan malam hari.
Bisa
mencari uang sendiri melalaui les privat dan mudahnya mendapat beasiswa belum
membuatku mantap menjadi seorang guru. Ada beberapa keraguan,diantaranya nanti
kalau muridnya nakal-nakal bagaimana dan setelah lulus pulang ke desa menjadi
guru honorer dengan honor 200-300 ribu rupaiah apakah aku sanggup? Dengan uang
segitu dapatkah aku membantu orang tuaku?
Aku
mempunyai teman satu kos dan satu kelas bernama Nunung. Nunung mempunyai kakak
yang juga kuliah di jurusan matematika UNESA, setelah lulus kakaknya Nunung
diterima di Bank BRI. Akupun berkeinginan mengikuti jejak kakaknya Nunung.Ingin
kerja di bank, berada di ruangan ber-AC dan gajinya besar. Tetapi kata Nunung
pulangnya malam dan kerjanya berat. Aku tidak percaya, bank kan tutup pukul
14.30, setidaknya pegawainya pulang maksimal pukul 16.00. Lagian apa susahnya
menghitung uang, daripada menghadapi murid yang nakal tidak bisa diatur.
Kuutarakan
keinginanku pada ibuku bahwa setelah lulus nanti aku tidak melamar menjadi guru
tetapi aku akan melamar kerja di bank. Ibuku tidak setuju, di pikiran ibuku
yang juga orang desa, bank adalah koperasi simpan pinjam sperti di desaku.
Kalau Cuma kerja di situ kenapa pakai kuliah, lulus SMA juga bisa diterima. Aku
jelaskan bukan bank seperti itu tetapi bank besa seperti BRI, BNI, BCA dan
sebagainya. Ibuku tetap tidak setuju. Ibuku tetap menginginkanku menjadi guru.
Aku
turuti keinginan orang tuaku, setelah lulus aku membuat banyak surat lamaran
dan kukirim ke sekolah-sekolah. Namun hingga 3 bulan aku belum mendapat
panggilan satupun. Akhirnya ada tawaran bekerja di koperasi simpan pinjam
menjadi kasir. Dengan pertimbangan daripada aku menganggur, kuterima tawaran
tersebut.
Gajiku
sebagai kasir di koperasi simpan pinjam dua kali gaji temanku yang menjadi guru
honorer. Memang tidak banyak seperti di bank, namun bisa membantu biaya sekolah
adikku. Selain itu aku mendapat makan 2x sehari, yaitu pagi dan siang dan
tempat menginap karena kantornya jauh dari rumahku.
Sebulan
dua bulan berlalu, aku merasa pekerjaan sebagai kasir ternyata tak semudah
anggapanku. Aku harus mencocokkan pengeluaran dan pemasukan. Menghitung uang
dengan teliti dan menyimpannya ke brangkas. Selisih sedikit saja harus dicari
dimana salahnya, kadang membongkar kembali uang yang sudah aku hitung. Tanggung
jawabku juga besar, kunci brangkas aku yang pegang. Selain itu hatiku tidak
tenang, ada rasa tidak sreg di hatiku. Apalagi ibuku pernah marah karena aku
pernah dihubungi sebuah MTs yang pernah kukirimi lamaran. Aku tolak karena aku
terlanjur diterima di koperasi.
Aku
berinisiatif membuat lamaran kerja sebanyak mungkin. Setiap Sabtu aku membeli
koran untuk mencari lowongan pekerjaan. Jika ada yang sesuai, kubuat lamaran
kerja dan segera kurimkan. Dua bulan berlalu tidak ada satupun panggilan dari
lamaran kerja yang kukirim.
Aku
sudah tidak betah bekerja sebagai kasir, akhirnya aku nekat mengundurkan diri
dari tempatku kerja walaupun belum ada panggilan kerja. Alhamdulillah baru
sehari di rumah, aku mendapat telepon dari LBB HSC di Surabaya. Aku kembali ke
tempat kosku waktu kuliah di surabaya dulu. Tidak banyak barang yang kubawa
karena sebagian bajuku masih ada di sana. Ibu kosku yang super baik pernah
berkata agar aku tidak membawa semua bajuku ketika aku pamit pulang, mungkin
suatu saat main ke tempat kos, tidak repot membawa baju.
Bulan
pertama sebelum aku menerima gaji dari LBB, aku menggunakan sisa uang hasil
kerjaku sebagai kasir untuk membayar kos, biaya hidup sehari-hari, dan ongkos
naik angkutan umum. Waktu itu aku belum mempunyai motor sendiri, sehingga ke
mana-mana harus naik angkot. Aku juga
memberi les privat dari rumah ke rumah.
Tiga
bulan kemudian saat tahun ajaran baru, aku mendapat telepon dari SMP ITMA di
Jombang. Aku memang pernah mengirim lamaran ke sekolah tersebut. Ketika aku
mengantar lamaran dan melihat situasi sekolah, dalam hati aku berkata jika
dipanggil aku pasti mau mengajar di sini. Sesuai dengan janjiku pada diriku
sendiri dahulu, aku menerima tawaran mengajar di SMP ITMA.
Karena
tempatnya yang berbeda kota, aku harus mengatur jadwal mengajar di LBB, jadwal
les privat dan jadwal mengajar di SMP. Senin-Rabu mengajar di Jombang, Rabu
sore ke Surabaya hingga hari Minggu.Keadaan ini kujalani lebih dari 2 tahun.
Kemudian aku pindah mengajar di SMP IPIEMS Surabaya. Aku sudah tidak
bolak-balik Jombang –Mojokerto lagi.
Dua
tahun mengajar di SMP IPIEMS aku mengikuti tes CPNS dan Alhamdulillah aku
diterima di Kota Mojokerto sebagai guru SD. Aku ditempatkan di SDN Balongsari
5.
Dua tahun kemudian selain mengajar, aku diberi
tambahan tugas sebagai Bendahara BOS. Menjadi bendahara BOS membuatku sibuk,
atau lebih tepatnya sok sibuk hmmm. Sibuk mengerjakan laporan, sibuk membuat
RKA, dan sibuk mencari pinjaman uang jika dananya belum turun.
Menjadi bendahara adalah tugas yang tidak
menyenangkan. Lebih rumit daripada menjadi kasir koperasi simpan pinjam. Banyak
pengeluaran yang harus dikeluarkan tetapi tidak ada dalam juknis BOS. Itu yang
membuat pusing.
Namun menjadi bendahara mejadikanku lebih bersyukur
menjadi seorang guru. Seandainya dulu aku kuliah di STAN dan menjadi pegawai
perpajakan apa tidak lebih pusing ketika mengurusi pajak? Bersyukur pula aku
tidak menjadi pegawai bank yang pastinya juga menguras pikiran. Dan seandainya
aku kuliah di teknik kimia, apakah saat ini aku dapat bekerja di perusahaan
yang bagus mengingat banyaknya persaingan? Jika aku kuliah jurusan Farmasi,
kuatkah aku bertahan dengan segala macam obat dan bahan kimia?
Bersyukur, bersyukur dan bersyukur itu yang paling
patut kulakukan. Bersyukur aku ditakdirkan menjadi guru. Dapat bercanda dan
tertawa bersama anak-anak. Mendengar celoteh, curhatan bahkan tangisan mereka.