Anik Cha

Renungan Hidup, Cerpen, dan berbagai cerita masa lalu


IBUKU PEMBANTUKU

            Kalau ada pertanyaan siapakah orang yang paling bahagia di dunia saat ini? Jawabannya adalah aku. Bagaimana tidak, aku mempunyai suami yang sangat sayang kepadaku  dan Rafa, buah hati kami. Suamiku mempunyai pekerjaan yang mapan, aku sendiri juga bekerja. Jadi untuk masalah keuangan, kami tidak kekurangan walaupun belum bisa dikatakan berlebih, karena kami pasangan muda yang  butuh banyak keperluan rumah tangga.
            Saat ini aku sedang menanti kelahiran anak keduaku, itulah hal yang paling membuatku bahagia. Menurut hasil USG, Rafa akan mempunyai adik perempuan. Jika semua berjalan lancar, tiga bulan lagi aku akan memiliki anak yang lengkap laki-laki dan perempuan, yaitu Rafa dan adiknya.
            Rencanaku, anak ke duaku nanti akan kutitipkan ibuku, seperti halnya Rafa dulu. Kedua kakakku juga menitipkan anak-anaknya pada ibuku. Bahkan ibuku juga mengantar jemput keponakanku sekolah. Sekarang semua keponakanku sudah besar, tidak perlu dijaga ibuku lagi. Saat ini ibu hanya menjaga Rafa. Tahun ini Rafa akan masuk TK.
             Alhamdulillah semua berjalan lancar, aku melahirkan secara normal. Bayiku juga sehat dengan berat badan 3,5 kg. Kami semua gembira menyambut kelahiran bayiku. Kami memberinya nama Safira. Safira dalam bahasa Indonesia berarti karunia yang tidak putus-putus. Sedangkan dalam bahasa Sansekerta, Safira berarti terhormat, terkenal, istimewa. Safira juga berarti perhiasan berwarna biru, jika diartikan dari bahasa Yunani. Begitu banyak arti nama Safira dan semuanya indah, sebanyak dan seindah harapan kami kepada putri kecil kami ini.
            Safira tumbuh dengan baik dan sehat dalam asuhan ibuku. Walaupun begitu, aku tetap memberinya ASI. Di tempat kerja, aku memompa ASI ku kemudian kusimpan di freezer kantor. Sorenya aku bawa pulang untuk cadangan minum Safira esok hari. Sore dan malam, Safira langsung menyusu dari aku. Ketika aku kerja, Safira minum ASI yang kusimpan.
            Rafa juga sudah masuk TK. Aku sendiri yang akan mengantar-jemput Rafa sekolah. Pagi sambil berangkat kerja, aku akan mengantar Rafa ke sekolah dahulu, pulangnya aku juga yang menjemput lalu kutaruh di rumah ibuku dan aku kembali ke kantor. Rafa sudah bisa bermain sendiri, jadi tidak terlalu merepotkan ibu. Ibu bisa konsentrasi merawat Safira.
            Setahun berlalu, Safira tumbuh menjadi anak yang lucu. Semua baik-baik saja hingga suatu hari ibuku jatuh dan mengalami koma. Ibu dirawat di ruang ICU, kami hanya bisa melihatnya dari luar. Aku dan kedua kakakku sangat sedih. Kami bergantian jaga di rumah sakit. Aku mengambil cuti karena tidak ada yang menjaga Safira.
            Minggu siang, aku dan kedua kakakku di rumah sakit semua karena kakakku libur kerja. Jadi kami bisa berkumpul menunggui ibu. Ibu sudah dipindah ke kamar biasa, tidak di ICU lagi. Namun tubuhnya masih lemah.
            “ Assalamu’alikum. Bagaimana keadaan ibu kalian?” Kami spontan menoleh mendengar suara tersebut. Bulik, adik ibuku yang berada di luar kota datang menjenguk ibuku.
            “Alhamdulillah, sudah lebih baik Bulik daripada kemarin-kemarin.” Jawab Kak Nabila, kakak ke duaku.
            “Syukurlah. Boleh Bulik masuk?”
            “Silakan Bulik.” Kak Nadia, kakak pertamaku mempersilakan. Kami memang berada di teras ruang tempat ibu dirawat, agar ibu bisa istirahat, tidak terganggu suara berisik kami.
            Bulik masuk ruangan. Berbicara dengan ibu, yang kebetulan sudah terbangun mendengar suara bulik tadi. Sesekali bulik menyuapi ibu. Ibu terlihat gembira. Kami tetap di luar agar tidak mengganggu Bulik dan ibu, mungkin merekan sedang melepas kangen juga. Sudah lama tidak bertemu.
            Dua puluh menit kemudian bulik keluar.
            “Kok sudah keluar Bulik?” Aku bertanya.
            “ Biar ibumu istirahat. Kasihan kalau bulik terlalu lama di dalam. Nanti ibumu tidak jadi istirahat, keasikan cerita sama bulik.”
            “Bulik tadi ke sini dengan siapa?”Kali ini Kak Nadia yang bertanya.
            “Sendiri, naik bus. Adik-adikmu semua kerja, jadi tidak bisa mengantar. Nadia, Nabila, Nanda, bulik ingin berbicara sedikit dengan kalian. Sebenarnya sudah lama bulik ingin membicarakan ini, namun belum ada kesempatan dan belum ada keberanian. Sekarang bulik rasa waktu yang paling tepat.” Bulik berhenti sebentar. Kami bertanya-tanya dalam hati, apa yang ingin bulik bicarakan.
            “Sebelumnya bulik mohon maaf jika kata-kata bulik nanti ada yang tidak berkenan di hati kalian. Bulik tahu kalian semua sayang dengan ibu kalian. Tapi sadarkah kalian, kalau selama ini kalian memperlakukan ibu kalian seperti pembantu?”
            “Maaf Bulik, apa maksud perkataan Bulik?” Kak Nadia menyela perkataan bulik.
            “Mungkin kalian memang tidak pernah mengatakan ibu kalian adalah pembantu kalian, namun perbuatan kalian menunjukkan kalau kalian menganggap ibu kalian tak lebih seperti pembantu.” Bulik menarik napas. Kulihat wajah kedua kakakku menegang, menahan marah. Tidak terima dengan perkataan bulik. Namun mereka masih bisa menahan diri. Membiarkan bulik melanjutkan perkataannya.
            “Semasa muda ibu kalian sibuk merawat kalian bertiga. Menyediakan semua keperluan kalian, mengantar jemput kalian ke sekolah atau tempat les dan mengaji. Begitu tua, harusnya dia menikmati masa tuanya, namun kalian membebani dengan menitipkan anak-anak kalian. Yang satu agak besar, yang satu lahir. Begitu seterusnya, ibumu tidak ada waktu istirahat merawat keenam cucu-cucunya. Semakin lama fisik ibumu bukan semakin kuat tetapi semakin lemah seiring dengan bertambahnya usia. Tapi kalian tidak peduli, terus membebani ibu kalian dengan anak-anak kalian.”
            “Tapi ibu tidak keberatan merawat anak-anak kami, Bulik.” Aku membela diri.
            “Ibu kalian takut dianggap tidak adil, anak yang satu sudah dirawat, maka anak yang lain harus dirawat juga. Harusnya kalian yang tahu diri. Ibu kalian sudah tua, jangan menambah bebannya. Bahagianlah hatinya, mumpung ibu kalian masih hidup. Kalau ibu kalian sudah tidak ada, kalian akan menyesal. Ayah kalian sudah meninggal sebelum kalian sempat membahagiaknnya.” Kami semua terdiam.
            “Kalian bisa membayar orang untuk menjaga anak kalian sementara kalian kerja. Apa kalian takut kehilangan uang untuk membayar orang? Atau kalian takut jika anak kalian tidak dirawat dengan baik oleh orang yang kalian bayar? Kalian bisa mencari orang yang benar-benar sayang dengan anak kalian. Tidak mudah memang, tapi masih banyak orang di sekitar tempat tinggal kalian yang baik dan membutuhkan pekerjaan. Jika kalian masih tidak percaya anak kalian dirawat orang lain, maka berhentilah bekerja dan rawatlah sendiri. Itu risikonya. Kalian berani menikah, berani punya anak maka harus berani mengambil risiko. Renungkan kata-kata bulik, bulik mohon maaf jika perkataan bulik menyakiti hati kalian. Ini demi kebaikan ibu kalian. Bulik harus pulang sekarang, pak lik kalian menunggu di rumah.” Bulik meninggalkan kami yang berurai air mata, menanggung penyesalan yang begitu besar. Kutatap tubuh tua ringkih yang sekarang tergolek tak berdaya.

0 komentar:

Posting Komentar