IBUKU
PEMBANTUKU
Kalau ada pertanyaan
siapakah orang yang paling bahagia di dunia saat ini? Jawabannya adalah aku.
Bagaimana tidak, aku mempunyai suami yang sangat sayang kepadaku dan Rafa, buah hati kami. Suamiku mempunyai
pekerjaan yang mapan, aku sendiri juga bekerja. Jadi untuk masalah keuangan,
kami tidak kekurangan walaupun belum bisa dikatakan berlebih, karena kami
pasangan muda yang butuh banyak
keperluan rumah tangga.
Saat
ini aku sedang menanti kelahiran anak keduaku, itulah hal yang paling membuatku
bahagia. Menurut hasil USG, Rafa akan mempunyai adik perempuan. Jika semua
berjalan lancar, tiga bulan lagi aku akan memiliki anak yang lengkap laki-laki
dan perempuan, yaitu Rafa dan adiknya.
Rencanaku,
anak ke duaku nanti akan kutitipkan ibuku, seperti halnya Rafa dulu. Kedua
kakakku juga menitipkan anak-anaknya pada ibuku. Bahkan ibuku juga mengantar
jemput keponakanku sekolah. Sekarang semua keponakanku sudah besar, tidak perlu
dijaga ibuku lagi. Saat ini ibu hanya menjaga Rafa. Tahun ini Rafa akan masuk
TK.
Alhamdulillah semua berjalan lancar, aku
melahirkan secara normal. Bayiku juga sehat dengan berat badan 3,5 kg. Kami
semua gembira menyambut kelahiran bayiku. Kami memberinya nama Safira. Safira
dalam bahasa Indonesia berarti karunia yang tidak putus-putus. Sedangkan dalam
bahasa Sansekerta, Safira berarti terhormat, terkenal, istimewa. Safira juga
berarti perhiasan berwarna biru, jika diartikan dari bahasa Yunani. Begitu banyak
arti nama Safira dan semuanya indah, sebanyak dan seindah harapan kami kepada
putri kecil kami ini.
Safira
tumbuh dengan baik dan sehat dalam asuhan ibuku. Walaupun begitu, aku tetap
memberinya ASI. Di tempat kerja, aku memompa ASI ku kemudian kusimpan di
freezer kantor. Sorenya aku bawa pulang untuk cadangan minum Safira esok hari.
Sore dan malam, Safira langsung menyusu dari aku. Ketika aku kerja, Safira
minum ASI yang kusimpan.
Rafa
juga sudah masuk TK. Aku sendiri yang akan mengantar-jemput Rafa sekolah. Pagi
sambil berangkat kerja, aku akan mengantar Rafa ke sekolah dahulu, pulangnya
aku juga yang menjemput lalu kutaruh di rumah ibuku dan aku kembali ke kantor.
Rafa sudah bisa bermain sendiri, jadi tidak terlalu merepotkan ibu. Ibu bisa
konsentrasi merawat Safira.
Setahun
berlalu, Safira tumbuh menjadi anak yang lucu. Semua baik-baik saja hingga
suatu hari ibuku jatuh dan mengalami koma. Ibu dirawat di ruang ICU, kami hanya
bisa melihatnya dari luar. Aku dan kedua kakakku sangat sedih. Kami bergantian
jaga di rumah sakit. Aku mengambil cuti karena tidak ada yang menjaga Safira.
Minggu
siang, aku dan kedua kakakku di rumah sakit semua karena kakakku libur kerja.
Jadi kami bisa berkumpul menunggui ibu. Ibu sudah dipindah ke kamar biasa,
tidak di ICU lagi. Namun tubuhnya masih lemah.
“
Assalamu’alikum. Bagaimana keadaan ibu kalian?” Kami spontan menoleh mendengar
suara tersebut. Bulik, adik ibuku yang berada di luar kota datang menjenguk
ibuku.
“Alhamdulillah,
sudah lebih baik Bulik daripada kemarin-kemarin.” Jawab Kak Nabila, kakak ke
duaku.
“Syukurlah.
Boleh Bulik masuk?”
“Silakan
Bulik.” Kak Nadia, kakak pertamaku mempersilakan. Kami memang berada di teras
ruang tempat ibu dirawat, agar ibu bisa istirahat, tidak terganggu suara
berisik kami.
Bulik
masuk ruangan. Berbicara dengan ibu, yang kebetulan sudah terbangun mendengar
suara bulik tadi. Sesekali bulik menyuapi ibu. Ibu terlihat gembira. Kami tetap
di luar agar tidak mengganggu Bulik dan ibu, mungkin merekan sedang melepas
kangen juga. Sudah lama tidak bertemu.
Dua
puluh menit kemudian bulik keluar.
“Kok
sudah keluar Bulik?” Aku bertanya.
“
Biar ibumu istirahat. Kasihan kalau bulik terlalu lama di dalam. Nanti ibumu
tidak jadi istirahat, keasikan cerita sama bulik.”
“Bulik
tadi ke sini dengan siapa?”Kali ini Kak Nadia yang bertanya.
“Sendiri,
naik bus. Adik-adikmu semua kerja, jadi tidak bisa mengantar. Nadia, Nabila,
Nanda, bulik ingin berbicara sedikit dengan kalian. Sebenarnya sudah lama bulik
ingin membicarakan ini, namun belum ada kesempatan dan belum ada keberanian.
Sekarang bulik rasa waktu yang paling tepat.” Bulik berhenti sebentar. Kami
bertanya-tanya dalam hati, apa yang ingin bulik bicarakan.
“Sebelumnya
bulik mohon maaf jika kata-kata bulik nanti ada yang tidak berkenan di hati
kalian. Bulik tahu kalian semua sayang dengan ibu kalian. Tapi sadarkah kalian,
kalau selama ini kalian memperlakukan ibu kalian seperti pembantu?”
“Maaf
Bulik, apa maksud perkataan Bulik?” Kak Nadia menyela perkataan bulik.
“Mungkin
kalian memang tidak pernah mengatakan ibu kalian adalah pembantu kalian, namun
perbuatan kalian menunjukkan kalau kalian menganggap ibu kalian tak lebih
seperti pembantu.” Bulik menarik napas. Kulihat wajah kedua kakakku menegang,
menahan marah. Tidak terima dengan perkataan bulik. Namun mereka masih bisa
menahan diri. Membiarkan bulik melanjutkan perkataannya.
“Semasa
muda ibu kalian sibuk merawat kalian bertiga. Menyediakan semua keperluan
kalian, mengantar jemput kalian ke sekolah atau tempat les dan mengaji. Begitu
tua, harusnya dia menikmati masa tuanya, namun kalian membebani dengan
menitipkan anak-anak kalian. Yang satu agak besar, yang satu lahir. Begitu
seterusnya, ibumu tidak ada waktu istirahat merawat keenam cucu-cucunya.
Semakin lama fisik ibumu bukan semakin kuat tetapi semakin lemah seiring dengan
bertambahnya usia. Tapi kalian tidak peduli, terus membebani ibu kalian dengan
anak-anak kalian.”
“Tapi
ibu tidak keberatan merawat anak-anak kami, Bulik.” Aku membela diri.
“Ibu
kalian takut dianggap tidak adil, anak yang satu sudah dirawat, maka anak yang
lain harus dirawat juga. Harusnya kalian yang tahu diri. Ibu kalian sudah tua,
jangan menambah bebannya. Bahagianlah hatinya, mumpung ibu kalian masih hidup.
Kalau ibu kalian sudah tidak ada, kalian akan menyesal. Ayah kalian sudah
meninggal sebelum kalian sempat membahagiaknnya.” Kami semua terdiam.
“Kalian
bisa membayar orang untuk menjaga anak kalian sementara kalian kerja. Apa
kalian takut kehilangan uang untuk membayar orang? Atau kalian takut jika anak
kalian tidak dirawat dengan baik oleh orang yang kalian bayar? Kalian bisa
mencari orang yang benar-benar sayang dengan anak kalian. Tidak mudah memang,
tapi masih banyak orang di sekitar tempat tinggal kalian yang baik dan
membutuhkan pekerjaan. Jika kalian masih tidak percaya anak kalian dirawat
orang lain, maka berhentilah bekerja dan rawatlah sendiri. Itu risikonya.
Kalian berani menikah, berani punya anak maka harus berani mengambil risiko.
Renungkan kata-kata bulik, bulik mohon maaf jika perkataan bulik menyakiti hati
kalian. Ini demi kebaikan ibu kalian. Bulik harus pulang sekarang, pak lik
kalian menunggu di rumah.” Bulik meninggalkan kami yang berurai air mata,
menanggung penyesalan yang begitu besar. Kutatap tubuh tua ringkih yang
sekarang tergolek tak berdaya.
0 komentar:
Posting Komentar