Anik Cha

Renungan Hidup, Cerpen, dan berbagai cerita masa lalu


Terperangkap Cinta
Oleh : Anik Cha
Aku termenung memandangi dinding kamar baruku. Masih berantakan di sana sini. Aku masih malas membereskannya, tubuhku lelah, lebih lelah lagi hati dan pikiranku. Aku mendesah perlahan, menarik napas dalam-dalam. Tanpa kuminta, anganku memutar pertemuanku dengannya 7 bulan yang lalu.
Senin siang di awal bulan April, seorang pegawai tersenyum kepadaku. Akupun membalas senyumnya sebagai basa-basi. Aku belum pernah melihat orang tersebut. Mungkin pegawai baru. Tingginya sekitar 175 cm, tubuhnya berisi, kulitnya sawo matang. Usianya lebih muda dariku.
Saat istirahat siang, kami bertemu di kantin.
“Kosong?” Tanyanya sambil menunjuk kursi di depanku.
“Oh iya kosong, silakan kalau mau duduk di situ.” Jawabku. Dia kemudian duduk di kursi tersebut sehingga kami berhadapan dipisahkan oleh meja. Dia memesan gado-gado dan es jeruk. Sedangkan aku memesan soto dan es teh.
“ Maaf Mbak namanya siapa? Saya Daffa.”
“ Nesya.”
“ Sudah lama bekerja di sini?” Dia bertanya lagi di sela-sela makannya.
“Sekitar 9 tahun.”
“Oh sudah lama ya.” Kemudian dia bertanya tentang kantor kami. Aku menjelaskan apa-apa yang ditanyakan. Orangnya asik diajak ngobrol. Tak terasa jam istirahat hampir habis. Kami segera kembali ke ruangan masing-masing.
Malamnya, obrolan berlanjut melalui pesan whatsapp. Sebelum kami kembali ke ruangan setalah makan siang tadi, kami bertuka nomor hp. Mulai saat itu kami sering ngobrol lewat whattsap. Mulai dari masalah pekerjaan hingga masalah pribadi. Ada rasa nyaman saat membaca dan membalas pesan-pesannya.
Semakin lama hubungan kami semakin dekat. Kami sudah mengenal satu sama lain. Obrolan kami tidak lagi terbatas masalah pekerjaan dan masalah pribadi, kadang menyerempet ke hal-hal yang lebih vulgar. Obrolan yang sebenarnya kurang pantas jika dibicarakan oleh wanita dan laki-laki dewasa yang bukan mahram. Dia yang biasanya memancing orolan tersebut sehingga aku terpancing. Untungnya itu masih sebatas obrolan, kami tidak, atau lebih tepatnya belum melakukan perbuatan yang dilarang agama.
Kami pun mempunyai panggilan spesial, aku memnggilnya dengan sebutan ‘kopiko’, karena kulitnya hitam manis dan enak diajak ngobrol sehingga menghilangkan rasa kantuk. Sedangkan dia memanngilku ‘Neymutz’, singkatan dari Neysa imutz.
Hari ini dia tidak masuk, tidak memberiku kabar juga. Pesanku tidak dibaca, apalagi dibalas. Teleponku pun tidak dijawab. Aku bertanya-tanya, apa dia sakit? Aku tanya pada temannya satu ruangan, katanya dia ijin tadi pagi. Tapi tidak disebutkan ijin keperluan apa. Aku semakin penasaran, jika tidak sakit kenapa tidak memberiku kabar? Dia ada keperluan apa? Kemarin sore masih membalas pesanku dan tidak mengatakan apa-apa. Ah sudahlah aku tidak ingin memikirkan lebih lanjut, pekerjaanku bisa terbengkalai. Mungkin dia ada keperluan ke luar kota dan ponselnya ketinggalan di rumah sehingga tidak bisa membalas pesanku dan menjawab teleponku.
“Nes ada tamu?” Dhea mengagetkan ku.
“Tamu?” aku keheranan karena selama ini tidak ada yang menemuiku di kantor
“Iya, itu sudah kusuruh duduk. Sana temui, mungkin saudaramu.”
Aku bergegas ke ruangan tempat ‘tamuku’ tadi dipersilakan duduk. Seorang wanita berpenampilan modis tersenyum ke arahku. Dia memakai seragam yang kuimpikan selama ini, dan mungkin aku tidak akan pernah kesampaian memakai seragam seperti dia. Otakku pas-pasan, hanya bisa diterima di tempat kerjaku yang sekarang dengan gaji yang pas-pasan juga.
Tidak ada siapa-siapa di ruangan tersebut, hanya dia. Berarti dia yang mencariku, tetapi aku tidak merasa mengenalnya.
“Mencari saya?” tanyaku sambil duduk di depannya.
“Mbak Neysa?”
“Iya saya sendiri.”
“Saya Adinda, istrinya Mas Daffa.” Deg, jantungku seakan berhenti mendengar dia siapa. Dia mengulurkan tangannya. Dengan kikuk kusambut tangan itu.
“Mbak mungkin bertanya-tanya dari tadi, ke mana Mas Daffa. Dia sedang tidak enak badan, lebih tepatnya tidak enak hati dan pikiran. Ponselnya ada pada saya, jadi mohon maaf tidak bisa menjawab telepon Mbak.” Dia berhenti sebentar. Menarik napas.
Hatiku tak karuan, apa yang akan diperbuat dia di sini? Apakah dia akan memakiku, membuat aku malu dengan menyebut aku pelakor? Pelakor, istilah yang sedang ngetren untuk menyebut wanita yang mengganggu suami orang. Mau ditaruh di mana mukaku jika semua orang tahu dia melabrakku dengan tuduhan merebut suaminya? Seandainya aku berada di depan cermin, pasti aku akan melihat wajah pucat pasi ketakutan di sana. Tubuhku gemetar.
“Mbak jangan khawatir, saya tidak akan membuat keributan kok di sini.” Dia seakan tahu apa yang aku pikirkan. Aku hanya menunduk.
“Rasa suka, rasa nyaman dengan orang lain kadang datang secara tiba-tiba. Apalagi Mbak Neysa, single parent, pasti membutuhkan orang yang bisa diajak curhat, yang bisa mengatasi kegalauan hati. Dan jawaban semua itu adalah Mas Daffa, namun Mbak Neysa lupa jika orang yang membuat rasa nyaman di hati Mbak adalah orang yang mempunyai istri. Tentu hati saya sangat sakit mengetahui ini semua. Saya tahu Mbak Neysa sebenarnya tidak berniat mengganggu rumah tangga saya, Mbak terperangkap dalam perasaan suka dan nyaman itu. Sebelum Mbak terperangkap lebih dalam lagi, lepaskan perangkap itu sekarang. Kita tahu, masayarakat kita masih memandang rendah seorang single parent. Tidak melakukan sesuatu yang dilarang saja, masih ada yang berkomentar negatif kepada seorang single parent. Apalagi ada hal negatif yang dilakukan, pasti akan menambah penilain buruk masyarakat kepada single parent. Mbak harus pandai-pandai menjaga harga diri.”
“Saya minta maaf atas kekhilafan saya. Namun kami belum pernah melakukan perbuatan yang dilarang, hanya sebatas obrolan dan chat di whattsapp.” Dengan terbata-bata aku mengucapkan permintaan maafku.
“Ya, maka dari itu sebelum semua bertambah parah, saya ke sini berbicara dengan Mbak. Awalnya memang hanya ngobrol mesra. Namun setan selalu menggoda manusia. Coba nanti direnungkan Mbak. Saya juga tidak ingin rumah tangga saya hancur. Saya juga mohon maaf jika ada kata-kata saya yang menyakiti hati Mbak.” Dia berdiri, mengulurkan tangannya sambil tersenyum kepadaku. Kemudian pergi meninggalkan aku dengan hati yang tak karuan.
Hari itu juga aku putuskan resign dari tempatku kerja. Atasan dan teman-temanku bertanya ada apa kok mendadak. Aku jawab orangtuaku sakit di kampung dan aku harus merawatnya. Aku tidak ingin semakin terperangkap dalam cinta terlarang ini jika aku masih bekerja di tempat yang sama denga Daffa. Esoknya aku pindah keluar kota. Mencari pekerjaan di kota tersebut atau memulai usaha kecil-kecilan.
Aku tidak menghubungi Daffa mengenai resign dan kepindahanku ke luar kota. Aku juga mengganti nomor ponselku. Walaupun aku merasa sakit dengan perpisahan mendadak ini, biarlah kupendam sendiri. Rumah tanggaku pernah hancur oleh orang ke tiga, aku tidak ingin ini terjadi pada Daffa dan Adinda karena kehadiranku.

0 komentar:

Posting Komentar