Anik Cha

Renungan Hidup, Cerpen, dan berbagai cerita masa lalu


          Siapa sih yang tidak ingin jadi Bidadari Surga? Novel Bidadari-Bidadari Surga tulisan Tere Liye menggambarkan keikhlasan hati yang begitu hebat. Menerima segala tadir keterbatasannya, tetap tulus berjuang demi kebahagiaan orang lain.

          Sebuah keluarga janda miskin dengan 5 orang anak, suaminya meninggal diterkam harimau di hutan. Mereka hidup di sebuah lembah yang terbelakang, akses ke desa mereka sangat sulit. Laisa, anak sulung keluarga tersebut mengalah berhenti sekolah agar ke empat adiknya bisa tetap sekolah. Sesuai pesan terakhir ayahnya sebelum berangkat ke hutan yang ternyata kembali dalam keadaan tak bernyawa lagi dengan wajah tak berbebtuk dicakar harimau, untuk menjaga adik-adiknya. Laisa bersumpah akan melakukan apapun agar adik-adiknya bisa sekolah. Membantu ibunya di ladang, mencari rotan ke hutan, membuat gula aren. 
          Dalimunte, anak ke dua dari keluarga tersebut tumbuh menjadi anak yang cerdas di tengah keterbatasan kampung mereka. Di usianya yang ke-12 da mempunyai ide membuat kincir air untuk menaikkan air ke desa mereka agar sawah-sawah penduduk bisa diairi tidak hanya mengharapkan air hujan saja.
          Beberapa waktu kemudian datanglah mahasiswa KKN yang membuat pembangkit listrik dari kincir air yang sudah ada tersebut. sehingga kincir air berfungsi ganda, sebagai pengairan dan sebagai pembangkit listrik. sejak saat itu desa mereka dapat diterangi oleh listrik. Mereka juga memberi penyuluhan tentang tanaman strowberi.
          Kak Laisa mencoba menanam strowberi dan hasilnya sangan bagus sehingga dapat memparbaiki ekonomi keluarga mereka.  Penduduk sekitar mengikuti Kak Laisa menanam strowberi. Dua puluh tahun kemudian desa di lembah tersebut menjadi desa yang indah dengan kebun strowberinya. Separuh dari kebun strowberi di lembah tersebut adalah milik Kak Laisa. Dalimunte, Wibisana, Ikanuri dan Yashinta, adik-adik Kak Laisa dapat meneruskan sekolah hingga perguruan tinggi. Bahkan Dalimunte dan Yashinta dapat beasiswa kuliah ke luar negeri. Dalimunte menjadi professor ternama dengan bebera penelitian penting, Wibisana dan Ikanuri menjadi pengusaha, sedangkan Yashinta menjadi aktivis konservasi lingkungan hidup. Sementara Kak Laisa yang mengorbankan masa kecil dan remajanya demi adik-adiknya jauh tertinggal di belakang.
          Kak Laisa jauh berbeda dengan adik-adiknya, dia bertubuh gendut, pendek, hitam dan berambut gimbal. Sedangkan adik-adik mereka berkulit putih dan berambut lurus. Kak Laisa memang bukan anak dari keluarga tersebut, tidak ada hubungan darah sama sekali. Tetapi mamak menyayangi dan menganggap Kak Laisa sebagai anak sulungnya.  Ke empat adaiknyapun sangan hormat dan sayang terhadap Laisa karena Laisa yang telah mengorbankan segalanya demi mereka. Saat Wibisana dan Ikanuri akan dimakan harimau, Laisa yang menyelamatkan, saat Yashinta sakit dan sederet pengorbanan lain yang begitu tulus.
          Satu persatu adik-adik Laisa mengalami dilema saat akan menikah. Mereka tidak ingin melangkahi Laisa yang di usianya yang tidak muda lagi belum mendapatkan jodoh. Walaupun Laisa meminta mereka untuk segera menikah, mereka tetap tidak mau dan membuat kekasih mereka menunggu bertahun-tahun. Akhrinya Dalimunte memutuskan menikah juga, disusul Wibisana dan Ikanuri beberapa tahun kemudian setelah Kak Laisa memaksa mereka. Mereka menikah di usia kepala tiga. Sementara Yashinta tetap pada pendiriannya tdak mau menikah sebelum Kak Laisa menikah. Berkali-kali perjodohan Kak Laisa gagal hanya karen fisiknya yang tak cantik. Kak Laisa pasrah, mungkin dia ditakdirka tidak menikah seumur hidupnya. Dia sudah sangat bersyukur dengan kehidupannya yang sekarang, mempunyai adik-adik yang baik dan hebat walaupun tiap mlm menjelang subuh dia menyendiri menatap kebun strowberi. Mungkin sebenarnya Kak Laisa juga kesepian dalam kesendiriannya.
          Begitu sayangnya Kak Laisa kepada adik-adiknya, dia menyembunyikan penyakit kanker paru-parunya agar adik-adiknya tidak cemas. Meminum obat dengan dosis yang tidak wajar menjelang kepulangan adik-adiknya agar terlihat sehat. Akhirnya fisik Kak Laisa tak kuat lagi menahannya, kanker yang sudah stadium IV membuatnya terkapar tak berdaya. Semua adiknya menangis, menyesal tidak mengetahui penyakit kakanya selama ini. di penghujung umurnya, Kak Laisa memaksa Yashinta menikah. Kak Laisa sangat bahagia melihat Yashinta menikah, dan dia pergi untuk selamanya dengan senyum yang begitu damai sebagai bidadari surga.
          Pelajaran yang dapat kita ambil dari novel tersebut adalah skerja keras untuk merubah nasib, keikhlasan hidup yang luar biasa hebat, rasa syukur yang tinggi dan ketulusan ingin membahagiakan orang lain.


          





     

0 komentar:

Posting Komentar